Mencari Kesunyian Lewat Simbolik dalam Puisi-Puisi Julaiha

Sehimpun Puisi
Mula-Mula Kita Pergi
Selanjutnya Tersesat

Julaiha S.

Halaman: xii+102 hlm.
Ukuran: 14×21 cm
Sampul: Soft Cover
ISBN: 978-602-60302-0-7
Tahun Terbit: Oktober 2016

Seingat saya, akhir tahun 2008 adalah awal mula munculnya berbagai komunitas kepenulisan yang didominasi oleh mahasiswa dari beberapa universitas di Kota Medan. Geliat itu semakin tampak, ketika satu persatu tulisan para penggiatnya menghiasi media cetak baik lokal maupun nasional. Saya tahu Julaiha adalah salah satu di antara mereka yang proses kepenulisannya juga berlangsung dalam komunitas. Maka, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran Mula-Mula Kita Pergi, Selanjutnya Tersesat, kumpulan puisi tunggalnya, ikut andil dalam perjalanan perkembangan kepenyairan di Kota Medan. Sebelumnya sudah ada beberapa penyair muda yang melahirkan kumpulan puisi tunggal, seperti Ria Ristiana Dewi, Maulana Satrya Sinaga, Sartika Sari, Febri Mira Rizki, Tiflatul Husna dan lain-lain.

 Membaca puisi-puisi karya Julaiha dalam kumpulan puisi ini, ada pergolakan dalam dada saya—yang berusaha memahami penawaran-penawaran tafsir dari Julaiha. Dengan keberagaman tematik, Julaiha tidak melulu membuat pembacanya mudah menebak puisi-puisinya. Menghadirkan 93 judul puisi, Julaiha dengan semampunya mengusung hal-hal sederhana menjadi lebih terasa berwarna.

Mengutip kalimat Hudan Hidayat;

“Sesiapa yang ingin menjadi sastrawan-penyair yang bagus, tapi tak tahan kesunyian, kukira peluangnya telah menghilang.”

Julaiha kesunyian. Ya! Sebuah tema yang juga tak terelakkan olehnya. Apa yang coba direnungi oleh Julaiha dalam puisi-puisinya melalui diksi kesunyian? Dalam puisi “Penyair dan Sajak yang Nganga”, Julaiha sengaja menanam sunyi. Di dasar hatimu kutanam sunyi//sebuah tempat yang malam kudatangi.  Kenyataan bahwa puisi adalah bagian dari refleksi hidup si penyair, sejumlah puisi Julaiha banyak diselipi nada kesunyian. Puisi dengan judul “Peminum Kopi”, “Perempuan Laut”, “Menaburkan Keraguan di Pukat Hati” dan “Mandoge” adalah puisi yang saya sebutkan untuk mewakili puisi-puisi lain yang juga bernada kesunyian. 

Beberapa puisi dalam buku ini disajikan juga secara simbolik, mengajak pembaca untuk menemukan imaji yang tepat pada keselarasan diksi. Coba kita simak puisi dengan judul “Hujan” berikut.

Setelah kamarku penuh kenangan

rumah makan bertumpukan potret

kamar mandi mengalir susu

warung kopi sesak warta.

Aku melihat langit

di dalamnya ada kulit pisang

coklat panas

sepasang berpelukan dan

bibir perempuan mungil.

Kamar itu, kutemukan gambar orang tersesat

majalah-majalah terpajang di kaca rumah makan

susu tua yang masih lekat di kamar mandi

dan pada warung kopi, aku menulis puisi gila.

Di kepalaku

mereka menumpahkan hujan.

Dalam puisi naratif ini, Julaiha bukan benar-benar bercerita tentang hujan. Hujan hanyalah simbolik. Ia bercerita bagaimana suatu tempat mampu membuatnya gila dalam menulis puisi, kita dapat temui pada baris ke 14 dan 15.  Ia menggunakan hujan sebagai pengibaratan ketika ide yang ada dalam ruangan tersebut dengan liarnya berkeliaran dalam benaknya. Penggunaan simbolik dapat juga kita temui dalam puisi “Kopi dengan Cengkeh, Alkohol dan Perempuan”, “Silsilah Kerajaan Kita” dan puisi “Mula-Mula Kita Pergi, Selanjutnya Tersesat”. Mari kita simak cuplikan dari puisinya.

Mula-mula kita pergi, selanjutnya tersesat

 mencari-cari tubuhmu dalam kasur

kapuk terbang memengapi mimpi

 Mula-mula kita pergi, selanjutnya tersesat

 seperti orang kehujanan.

Pada pembuka puisi, Julaiha memulainya dengan sebuah kejadian, pergi namun kemudian tersesat. Ada yang melatarbelakangi mengapa Julaiha memilih untuk mengiringi pergi dengan tersesat. Ada yang hendak diceritakan oleh Julaiha tentang apa yang sebenarnya sedang dicarinya. Lalu masih menggunakan makna simbolik, pada baris kedua, diksi tubuhmu menjadi simbol yang kemudian harus dicari pembaca agar terhubungdengan baris selanjutnya. Pada baris keempat Julaiha mengibaratkan orang yang pergi lalu tersesat seperti kehujanan. Semacam upaya untuk mencari apa yang belum didapat, lantas semakin gila mencarinya. Penggunaan simbolik ini, tentu bertujuan untuk memperkaya pengimajian dan pengalaman sensoris pembacanya.

            Julaiha, meski puisinya mulai memikat, tentu masih berproses dalam mematangkan puisi-puisinya. Melalui Mula-mula Kita Pergi, Selanjutnya Tersesat, Julaiha nyatanya membiarkan kita untuk pergi menyelusuri setiap lekuk tubuh puisinya. Semoga kita tersesat dalam kemolekannya.

Takengon, 2016

Teks Oleh: Zuliana Ibrahim (Penyair, Wartawan lintasgayo.co)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.