Sirine untuk Fasya Siregar

Oleh: Titan Sadewo*

Setiap saya membaca puisi, emosi saya tak karuan. Seperti ada tamu lain yang masuk ke dalam ‘tubuh’ bahasa saya: tamu itu mungkin perasaan, pengetahuan, konflik atau gagasan yang dihantar penyair melalui kata, frasa, kalimat, paragraf & keutuh-cukupan puisi itu sendiri. Saya tersadar kalau bahasa bisa melakukan hal itu, karena biasanya bahasa hanya digunakan tuk bercakap-cakap & memberikan informasi. Ternyata bahasa lebih dari itu, kerja bahasa meluas & seringkali tak terduga.

Ketika diajak penyair Fasya Siregar tuk bertemu, saya cukup heran: pertemuan ini akan membahas apa? walau saya tahu Fasya Siregar yang sering saya singkat menjadi FS ini akan membicarakan sastra dengan saya. Tapi saya bertanya lagi: apakah saya hanya akan membicarakan sastra dengannya? Ternyata lebih dari itu, FS membawa tumpukan naskah puisinya yang sangat tebal! Saya kaget-kesima & menggumam: benar-benar produktiv ini orang! ya, produktivitas adalah jalan lebar tuk mencari kualitas, dari sana kita bisa melihat berbagai kemungkinan. Kami duduk di 117, setelah Asar. sebuah kedai kopi di daerah Kesawan, daerah penuh gedung kolonial, jalan yang lebar & transaksi pasar ramai. Setelah memesan, saya baca beberapa karyanya di naskah itu, & sambil bertanya ini-itu kepada FS.

Ternyata FS ingin mengumpulkan karya-karyanya dalam bentuk buku & secara tak langsung pertemuan hari itu mengatakan: Titan, kamu jadi editor saya! Untuk pembacaan awal, saya melihat gelagat ‘berterus terang’ dari karya-karya FS. Ia tak sedang memainkan ambiguitas, mengguna diksi melangit & mencari metafor ke ujung dunia. malah sebaliknya: ia berterus terang karena itu hasil indrawinya, hasil pengalaman: penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman & perlakuan penyair terhadap kesehariannya. Saya pikir menarik jika naskah ini punya jembatan, dalam artian naskah ini tahu-paham hendak ‘membicarakan’ sesuatu yang ‘urgensi’ itu. Selain saya membaca karya-karyanya & bertanya ini-itu, FS juga menceritakan pengalamannya beberapa bulan di Sipirok, sebuah daerah di Sumatera Utara yang dikenal penghasil kopi. FS menceritakan bagaimana perkembangan kopi di sana, keadaan setelah penjajah pergi, kepercayaan lokal yang masih dipegang, perang saudara & hal lain yang membuat telinga saya fokus mendengarnya. Lalu sore memeluk kota, kami berpisah & melanjutkan perjalanan; entah pulang, entah berpindah.

Setelah hari itu, kami bertemu rutin. FS memberikan semua karyanya kepada saya. Langkah awal yang saya lakukan adalah membaca semua karyanya tanpa tendensi bahwa saya mengenal FS sebagai kawan bercakap akrab. Saya ingin membaca dekat. setelah itu saya sisihkan beberapa yang, menurut saya belum bisa masuk ke dalam buku karena pertimbangan: kualitas puisi-puisi FS tak seperti karya-karya ini. Mengapa saya mengatakan hal itu? karena saya telah ‘meraba’ kualitas karya-karyanya, & saya tahu-paham bahwa dalam tema cinta—secara spesifik membicarakan kerinduan personal & kampung halaman—juga kritik sosial, FS mempunyai potensi yang besar.

Misal dalam karyanya yang berjudul Kembali / buat Tiarafany Eltris // lampu kota meredup / udara kau hirup malam ini / perayaan tuk kekalahan // sunyi menunggu / pagi akan tiba // tanpa perundingan / perpisahan disetuju. // 2021. Puisi ini tak bertele, suasana yang dihasilkan seperti sepia—semacam kehilangan, serupa kekalahan—aku liris di sini tak menumpah emosinya, ia berbicara sendiri; mungkin untuk si “kau” tapi sekali pun “kau” tak mendengarnya, ia tetap berbicara sendiri. Monolog itu berasal dari kesedihannya & kerinduannya yang baru saja dimulai. Puisi cinta seperti ini bakal banyak kita temui dalam karya-karya FS, cinta yang gamblang, yang memahami kemenangan & kekalahan bagian dari proses. Kita juga dapat menemukan puisi bernada kritik, misal yang berjudul Jika // suara mendegam malam hari / ada jiwa kelaparan yang menangis / hutan-hutan menjerit kena polusi / sebab ada yang bekerja setiap hari // Subulussalam, Juni 2019. Ketika membaca puisi pendek ini, kita disuguhi imaji auditif yang kuat: suara mendegam, jiwa kelaparan yang menangis, hutan-hutan menjerit, sebab ada yang bekerja: seluruh bagian dari puisi ini seperti berbicara, tapi kita tak tahu siapa yang berbicara: namun suara itu ada & dekat dengan kita. tak ada aku liris, ia menjelma “aku pencerita”. Mendedahkan apa yang ‘mungkin’ didengarnya menjadi teks. Kalau kita baca di bagian: hutan-hutan menjerit kena polusi. Di sana penyair kita memakai personifikasi, ia memasang “mulut” ke hutan-hutan, sebab itu pula ia bisa menjerit. Ini juga semacam pernyataan bahwa: manusia & alam hidup bersama. Bahkan lebih jauh lagi, manusia yang mendapatkan banyak hal dari alam. Oleh karena itu pula manusia harus menjaga-lestarikan alam.

Setelah membaca rutin seluruh karya-karya FS, saya terpikir judul: Rindu Datang, Tapi Kau Telah Terbakar. Kalimat itu seperti tali yang mengikat seluruh karya-karyanya yang berjumlah 59 puisi di dalam buku perdana ini. Ada tema—aku liris, subjek kedua berkelindan & narasi kampung halaman, juga kritik sosial—inilah wajah FS dalam karya-karyanya, ia bergerak sekaligus menetap. Ia tak berlari, melainkan berjalan dengan kaki yang tenang. Untuk cover buku ini kita diperlihatkan lukisan milik Puji Darmaji; 4 objek maneken, 1 maneken berkepala besar warna biru tosca pudar, 2 maneken setengah tubuh: warna biru & warna merah  & 1 maneken seluruh tubuh warna kuning dengan tangan mempersembahkan—dengan pose setengah jongkok—tanaman; kita melihat akar, batang & daun yang layu. Lalu kita juga bakal melihat garis lengkung di bawah keempat objek tersebut & garis-garis membentuk awan yang membayang. Yang saya harapkan dari FS adalah terus membaca-menulis puisi, sebab sikap seorang penyair ada di sana. Mungkin di buku kedua FS bisa mematangkan konsep kritik sosial. Misal dengan cara: FS harus memiliki ‘sirine’ dalam tubuh kepenyairannya; agar ia menyuarakan ‘kritik’ yang mengganggu, sekaligus memberi tahu: bahwa ketidakadilan, kemiskinan & kepedihan ada di sekitar kita, di depan mata kita. Dalam buku keduanya nanti, FS bisa saja menerbitkan puisi-puisi kritik sosial, & matang di ranah itu. Dengan begitu ‘sirine’ itu berbicara dengan sendirinya. Tuk menutup tulisan singkat ini: penyair adalah mereka yang berbicara melalui puisi; yang menghantar bahasa lain pada pembaca; yang melihat dunia dari lubang gagang pintu atau dari atas gunung raksasa. Oleh sebab itu: setiap saya membaca puisi, emosi saya tak karuan. Seperti ada tamu lain yang masuk ke dalam ‘tubuh’ bahasa saya: tamu itu mungkin perasaan, pengetahuan, konflik atau gagasan yang dihantar penyair melalui kata, frasa, kalimat, paragraf & keutuh-cukupan puisi itu sendiri. Saya tersadar kalau bahasa bisa melakukan hal itu, karena biasanya bahasa hanya digunakan tuk bercakap-cakap & memberikan informasi. Ternyata bahasa lebih dari itu, kerja bahasa meluas & seringkali tak terduga.

*) Penulis adalah editor Kumpulan Puisi Rindu Datang, tapi Kau Telah Terbakar; yang juga seorang penyair dan kini sedang menyiapkan buku puisi pertamanya berjudul Celakalah Orang-orang yang Jatuh Cinta.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.